Jumat, September 22, 2006

INFO PAKSU

Kita bersyukur untuk kebaktian bulan 13 Agustus‘ 06 yang lalu dengan jumlah Jemaat 129 orang dan kolekte sebesar Rp. 626.000,-. Bagi teman-teman yang rindu mengikuti Kelompok Tumbuh Bersama (KTB) dan yang terbeban ikut pelayanan anak jalanan dapat menghubungi Sie Misi: telp ke Sekretariat PAKSU. Sesuai dengan rencana penerbitan buletin doa, maka dari seksi doa sangat mengharapkan sekali teman – teman mengirimkan topik doa ke seksi doa. Jika topik itu rahasia boleh ditulis rahasia, tapi jika tidak rahasia boleh dimasukan ke buletin. bagi yang aktif di milis dikirim via japri ke sie doa atau diisi form pada saat kebaktian. Hub Sie Doa : Milda, Reston, Rugun, Arta, Eslon, Mega & Angel. Telah dibentuk Panitia Perayaan Natal Paksu 2006 dengan susunan sebagai berikut: Ketua : Agnes Hutabarat Sekretaris : Aris Simatupang Bendahara : Risna Gultom SIE ACARA - Taruli Hutagaol - Friska Napitupulu - Rita Kandi Purba - Edi Marlon C. Manik - Eferata Meliala - Erna Manurung SIE DANA - Marolop Nainggolan - Pardomuan Sihombing - Damayanti Harahap - Herti Hutapea - Marisi Simajuntak - Editha SIE PERALATAN & DOKUMENTASI - Efendy Sianturi - Hendy Pinem - Sadarina Sembiring SIE KONSUMSI - Maruli Manurung (Bob) - Dumaris Sijabat - Melva Selanjutnya akan diadakan pertemuan Panitia, Pengurus dan Jemaat pada Sabtu, 16 September 2006 pkl 16.00 wib di Sekretariat Paksu (Jl. Sutomo II NO.46 UKI, Jakarta). Topik: Menetukan tema dan sasaran serta bentuk acara. English Club diadakan pada tanggal 24 September 2006 di Sekreatriat PAKSU jam 14.00 dengan Topik : “Friendship” Hub : Karon (0813 82134233), Jerry (0817 916 7640). Akan diadakan Sermón Pengurus pada Minggu, 17 September 2006 pkl 14.00 wib di Sekretariat Paksu (Jl. Sutomo II NO.46 UKI, Jakarta). Agenda: Pembubaran Panitia Gathering, Penyusunan tema kebaktian tahun 2007, Perkembangan Pelayanan dll. Akan diadakan Reuni Alumni KMK USU 2006. Tema : United in Christ for His Glory Pada : Tgl 27, 28, 29 Desember 2006 Tempat : Gelanggang Mahasiswa dan Auditorium USU Komunitas Bonapasogit Diaspora (KBD) mengundang semua saudara/i untuk hadir dalam ibadah BONA PASOGIT. Yang diadakan : Minggu, 17 Sep 2006 Tempat : Aula Universitas Kristen Indonesia (UKI) Waktu : 16.00 WIB Pembicara : Pdt. Mangapul Sagala MTh Thema : Eksposisi Injil Yohanes

Berita Dukacita 1. Ibunda Rosmida FKM USU, pada tgl. 11 Juli 2006 dan dikebumikan tgl.14 Juli 2006 di Parapat. 2. Ayahanda k' Setia (alumni FMIPA USU) / mertua dari Bang Rizal Sianturi (alumni FMIPA USU) pada hari Minggu, 20 Agustus 2006 di Depok, dan dikebumikan hari ini, tgl 22 Agustus 2006. 3. Ayahanda dari Rony Sola Gratia Hutabarat , pada tgl. 28 Juli2006, dikebumikan tgl.29 Juli di Bekasi “ Kami dari pengurus PAKSU, menyampaikan rasa belasungkawa kepada keluarga . Biarlah Tuhan yang terus memberikan kekuatan pada keluarga yang ditinggalkan”. Tuhan memberkati.

Sakit

Kita Berdoa untuk teman teman yang sakit segra sembuh dan beraktifitas seperti biasa 1. Tgl 17 Juli 2006 Ade Wartaty di RS UKI 2. Tgl 21 Juli Ibunda Roida di Rumah (Cawang) 3. Tgl 01 September 2006 Rince di RS Cikini 4. Tgl 31 Agustus 2006 Delima br Tambunan 5. Tgl 05 September 2006 Roida di RS Cikini

Menikah 1. Nelly Katrina Manurung SKM dengan Bambang Setiawan Ssos Pemberkatan 5 Agustus di GBI ModernLand Tangerang 2. Anita dan Cipta 5 Agustus 2006 di Gedung Pertemuan Restu 2 3. Sondang Rotua Lordissi br Lumbanbatu dengan Rony Sola Gratia Hutabarat, Pemberkatan nikah di HKBP Sudirman tgl. 5 Agustus 2006 4. Ucapan Syukur pernikahan Martahi dan Leni di perumahan Jati Jajar Pasar Rebo tgl. 5 agustus 2006. Berita Melahirkan 1. Kel. R.Purba dan Ida Saragih . Melahirkan tgl. 5 Juli 2006. Tinggal di Komp SekNeg , Jl. Palem Raya Blok A/10 Ciledug 2. Kel. Robert Panjaitan Dan K`Niren , melahirkan anak Laki-laki tgl 2 September 2006 di RS YPK
TOPIK KEBAKTIAN PAKSU
8 Oct : Katakan dengan Jujur 12 Nov : Maximize your Pontential
Tempat Kebaktian : Gereja HKBP Sudirman Jl. Setia Budi Raya No. 3 (Belakang Chase Plaza) Jakarta Selatan.

KERJA BUAT TUHAN

Dalam malam terakhir Paulus dengan para penatua di Efesus, selain menguatkan dan menasihati, Paulus kembali menekankan bahwa selama melayani bersama-sama dengan mereka dia juga bekerja sama seperti mereka. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi saja melainkan juga untuk kawan-kawan seperjalanan dan orang-orang yang lemah (Kis 20:17-38). Kerja di Zaman ModernKita semua akan menganggukkan kepala bahwa saat ini bekerja adalah salah satu bagian kehidupan terpenting. Hampir sebagian terbesar waktu yang kita miliki adalah untuk bekerja. Sehingga energi, emosi dan segenap daya upaya hampir terserap habis tercurah untuk satu kata: kerja. Bahkan mungkin ada sebagian dari kita yang termasuk golongan workaholic atau penggila kerja yang bekerja hampir 25 jam sehari dan 8 hari seminggu! Dan saya juga pernah termasuk dalam golongan ini walau sebentar….Pengalaman kolektif kita paska menyelesaikan studi adalah berhadapan dengan realitas kehidupan yang serba sulit dan keras. Persaingan yang semakin kompetitif dan lapangan pekerjaan yang semakin sempit akibat kondisi perekonomian yang sangat lambat pulih semakin menegaskan betapa sulitnya memperoleh pekerjaan seperti yang kita inginkan. Memang ada sebagian kecil kita yang beruntung diterima di perusahaan besar dengan gaji besar pula. Namun sebagian terbesar kita akhirnya pasrah menerima pekerjaan yang ada demi menyambung hidup sambil terus mencari pekerjaan yang lebih baik dan dengan penghasilan yang lebih baik pula!Terutama untuk kita yang merantau di “kampung raksasa” seperti Jakarta yang keras dan kadang buas, dinamika dan perubahan sosial sangat cepat terasa. Perubahan dalam gaya hidup seperti pengaruh teknologi komunikasi, gaya berbelanja, kebutuhan hiburan dan liburan, relasi dengan tetangga dan komunitas berkumpul mempengaruhi cara pandang kita. Pluralitas dan kompleksitas kehidupan kampung Jakarta pada akhirnya juga mempengaruhi salah satu bagian terpenting hidup kita: kerja.Kerja adalah PelayananLagi-lagi kita pasti akan menganggukkan kepala bahwa kerja adalah pelayanan. Bahwa kerja adalah wujud dari kesaksian kita sebagai orang percaya. Bahwa bekerja pada dasarnya bukan lagi sekedar untuk pemenuhan diri sendiri namun untuk kemuliaan Tuhan. Bahwa bekerja adalah untuk melayani. Namun lagi-lagi kenyataan di lapangan tidak sesederhana itu. Tantangannya sering terlalu berat sehingga kita lebih sering bungkam untuk menyatakan apakah kita sedang bekerja atau “bekerja”.Waktu saya masih bekerja sebagai seorang akuntan publik saya lebih sering gamang. Kegamangan saya adalah bahwa ternyata ilmu dan keterampilan yang saya miliki termanfaatkan untuk mengakali suatu kasus atau persoalan yang bermasalah menjadi seakan-akan baik dan tidak bermasalah. Karena ketatnya persaingan bisnis maka memaksa perusahaan kami untuk lebih menuruti maunya klien sehingga saya yang dibawah juga mau tak mau turut dalam “persekutuan jahat” itu.Akumulasi dari kebiasaan kompromi-kompromi tersebut akibatnya adalah degradasi atas kecintaan kepada Tuhan dan kepedulian kepada sesama. Kebiasaan positif seperti persekutuan pribadi dan persekutuan kolektif menjadi kering dan terjauhkan. Sehingga keluhan berulang seperti: HPDT saya sudah jarang dilakukan dan si A kok beda banget waktu mahasiswa menjadi pengalaman bersama. Padahal yang seharusnya adalah bukan tekanan dan beratnya tantangan dalam pekerjaan yang melemahkan spiritualitas dan iman yang telah terbangun tapi seharusnya penggairahan spiritualitas dan persekutuan terus-menerus yang menyemangati dan menghidupkan eksistensi kita dalam pekerjaan. Spiritualitas dan persekutuan yang sejati pada akhirnya berdampak bukan hanya kepada orang lain tapi juga pada kepuasan kerja dan aktualisasi potensi sehingga kerja sebagai pelayanan lebih punya makna dan nilai.Tantangan Masa DepanBerpijak dari realitas masa kini lagi-lagi kita akan mengangguk setuju bahwa tantangan hidup masa depan akan demikian beratnya. Kebutuhan hidup semakin bertambah untuk dipenuhi sedangkan penghasilan semakin menipis dan tak pasti. Semakin banyak ketidakpastian.Kembali kepada spiritualitas sejati dan Jalan Tuhan adalah kata kuncinya. Kembali bergairah dalam persekutuan pribadi dengan Tuhan yang hidup dan bermakna dan mengasihi setiap manusia. Spiritualitas dan persekutuan yang terus tumbuh hidup akan membuat kita lebih memaknai dan mengisi setiap waktu dan kehidupan dengan berbagai hal yang lebih bermakna, meningkatkan keunggulan dan kualitas pribadi, meningkatkan disiplin, efisiensi, efektivitas dan produktivitas kerja, menghargai waktu, etos kerja keras dan selalu beryukur. Sikap-sikap positif itu pada akhirnya juga akan membuat setiap kita dimanapun juga akan menjadi pelayan yang baik, professional dan saksi Kristus yang nyata. Kawan-kawan, bahkan Paulus telah menjadikan hidupnya sebagai teladan bahwa sebagai orang percaya kerja tidak cukup kalau hanya untuk diri sendiri tapi bahkan untuk banyak orang terutama orang-orang lemah yang sudah sepatutnya ditolong dan diberdayakan. Bahwa memang pada dasarnya kita bekerja adalah untuk Dia. (bob)

Minggu, September 10, 2006

BEDA ANTARA CINTA DAN COCOK

Oleh: Dr. Paul Gunadi
Salah satu alasan paling umum mengapa kita menikah adalah karena cinta --cinta romantik, bukan cinta agape, yang biasa kita alami sebagai prelude ke pernikahan. Cintalah yang meyakinkan kita untuk melangkah bersama masuk ke mahligai pernikahan.
Masalahnya adalah, walaupun cinta merupakan suatu daya yang sangat kuat untuk menarik dua individu, namun ia tidak cukup kuat untuk merekatkan keduanya. Makin hari makin bertambah keyakinan saya bahwa yang diperlukan untuk merekatkan kita dengan pasangan kita adalah kecocokan, bukan cinta.
Saya akan jelaskan apa yang saya maksud.
Biasanya cinta datang kepada kita ibarat seekor burung yang tiba- tiba hinggap di atas kepala kita. Saya menggunakan istilah "datang" karena sulit sekali (meskipun mungkin) untuk membuat atau mengkondisikan diri mencintai seseorang. Setelah cinta menghinggapi kita, cinta pun mulai mengemudikan kita ke arah orang yang kita cintai itu. Sudah tentu kehendak rasional turut berperan dalam proses pengemudian ini. Misalnya, kita bisa menyangkal hasrat cinta karena alasan-alasan tertentu. Tetapi, jika tidak ada alasan-alasan itu, kita pun akan menuruti dorongan cinta dan berupaya mendekatkan diri dengan orang tersebut. Cinta biasanya mengandung satu komponen yang umum yakni rasa suka. Sebagai contoh, kita berkata bahwa pada awalnya kita tertarik dengan gadis atau pria itu karena kesabarannya, kebaikannya menolong kita, perhatiannyayang besar terhadap kita, wajahnya yang cantik atau sikapnya yang simpatik, dan sejenisnya. Dengan kata lain, setelah menyaksikan kualitas tersebut diatas timbullah rasa suka terhadapnya sebab memang sebelum kita bertemu dengannya kita sudah menyukai kualitas tersebut. Misalnya, memang kita mengagumi pria yang sabar, memang kita menghormati wanita yang lemah lembut, memang kita mengukai orang yang rela menolong orang lain dan seterusnya. Jadi, rasa suka muncul karena kita menemukan yang kita sukai pada dirinya.
Saya yakin cinta lebih kompleks dari apa yang telah saya uraikan.
Namun khusus untuk pembahasan kali ini, saya membatasi lingkup cinta hanyapada unsur suka saja. Cocok dan suka tidak identik namun sering dianggap demikian. Saya berikan contoh. Saya suka rumah yang besar dengan taman yang luas, tetapi belum tentu saya cocok tinggal di rumah yang besar seperti itu. Saya tahu saya tidak cocok tinggal di rumah sebesar itu sebab saya bukanlah tipe orang yang rajin membersihkan dan memelihara taman (yang dengan cepat akan bertumbuh kembang menjadi hutan). Itulah salah satu contoh di mana suka tidak sama dengan cocok. Contoh yang lain. Rumah saya kecil dan cocok dengan saya yang berjadwal lumayan sibuk dan kurang ada waktu mengurusnya. Namun saya kurang suka dengan rumah ini karena bagi saya, kurang besar(tamannya). Pada contoh ini kita bisa melihat bahwa cocok berlainan dengan suka. Pada intinya, yang saya sukai belum tentu cocok buat saya; yang cocok dengan saya belum pasti saya sukai. Sekarang kita akan melihat kaitannya dengan pemilihan pasangan hidup. Tatkala kita mencintai seseorang, sebenarnya kita terlebih dahulu menyukainya, dalam pengertian kita suka dengan ciri tertentu pada dirinya. Rasa suka yang besar (yang akhirnya berpuncak pada cinta) akan menutupi rasa tidak suka yang lebih kecil dan -- ini yang penting -- cenderung menghalau ketidakcocokan yang ada di antara kita. Di sinilah terletak awal masalah. Ini yang acap kali terjadi dalam masa berpacaran. Rasa suka meniup pergi ketidakcocokan di antara kita, bahkan pada akhirnya kita beranggapan atau berilusi bahwa rasa suka itu identik dengan kecocokan.Kita kadang berpikir atau berharap,"Saya menyukainya, berarti saya (akan) cocok dengannya." Salah besar! Suka tidak sama dengan cocok; cinta tidak identik dengan cocok! Alias, kita mungkin mencintai seseorang yang sama sekali tidak cocok dengan kita.
Pada waktu Tuhan menciptakan Hawa untuk menjadi istri Adam, Ia menetapkan satu kriteria yang khusus dan ini hanya ada pada penciptaan istri manusia, yakni, "Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia." Kata "sepadan" dapat kita ganti dengan kata "cocok." Tuhan tidak hanya menciptakan seorang wanita buat Adam yang dapat dicintainya, Ia sengaja menciptakan seorang wanita yang cocok untuk Adam. Tuhan tahu bahwa untuk dua manusia bisa hidup bersama mereka harus cocok.Menarik sekali bahwa Tuhan tidak mengagungkan cinta (romantik) sebagai prasyarat pernikahan. Tuhan sudah memberi kita petunjuk bahwa yang terpenting bagi suami dan istri adalah kecocokan. Ironisnya adalah, kitatelah menggeser hal esensial yang Tuhan tunjukkan kepada kita dengan cara mengganti kata "cocok" dengan kata "cinta." Tuhan menginginkan yang terbaik bagi kita; itulah sebabnya Ia telah menyingkapkan hikmat-Nya kepada kita. Sudah tentu cinta penting, namun yang terlebih penting ialah, apakah ia cocok denganku?
Saya teringat ucapan Norman Wright, seorang pakar keluarga di AmerikaSerikat, yang mengeluhkan bahwa dewasa ini orang lebih banyak mencurahkan waktu untuk menyiapkan diri memperoleh surat ijin mengemudi dibanding dengan mempersiapkan diri untuk memilih pasangan hidup. Saya kira kita telah termakan oleh motto, "Cinta adalah segalanya," dan melupakan fakta dilapangan bahwa cinta (romantik) bukan segalanya. Jadi, kesimpulannya ialah, cintailah yang cocok dengan kita! Teman-teman ini saya juga berikan sebuah doa untuk menemukan pasangan hidup yang tepat dan cocok, doa ini sangat indah semoga juga bisa memberikankesadaran bahwa semua itu akan kita kembalikan kepada Sang Empunya Kehidupan. ini saya buat dua versi yang bisa digunakan sesuai jenis kelamindan kebutuhan teman2. Jika artikel dan doa ini Anda rasa berguna...berikan kepada mereka yang membutuhkan dan yakinlah niat baik Anda pasti tidak akan pernah sia-sia... semoga bermanfaat
PRAYER FOR LIFETIME PARTNER Tuhanku, Aku berdoa untuk seorang pria/perempuan, yang akan menjadi bagian darihidupku. Seorang yang sungguh mencintaiMU lebih dari segala sesuatu.
Seorang pria/perempuan yang akan meletakkanku pada posisi kedua di hatinya setelah Engkau.
Seorang pria/perempuan yang hidup bukan untuk dirinya sendiri tetapi untukMU. Wajah ganteng/cantik dan daya tarik fisik tidaklah penting. Yang paling penting adalah sebuah hati yang sungguh mencintai dan haus akan Engkau dan memiliki keinginan untuk menjadi seperti Engkau. Dan ia haruslah mengetahui bagi siapa dan untuk apa ia hidup, sehingga hidupnya tidaklah sia-sia. Seseorang yang memiliki hati yang bijak bukan hanya otak yang cerdas.
Seorang pria/perempuan yang tidak hanya mencintaiku tetapi juga menghormati aku.
Seorang pria/perempuan yang tidak hanya memujaku tetapi dapat juga menasehati ketika aku berbuat salah.
Seorang yang mencintaiku bukan karena kecantikanku/ketampanan tetapi karena hatiku.
Seorang pria/perempuan yang dapat menjadi sahabat terbaikku dalam tiap waktudan situasi.
Seseorang yang dapat membuatku merasa sebagai seorang perempuan/pria ketika berada di sebelahnya. Aku tidak meminta seorang yang sempurna, Namun aku meminta seorang yangtidak sempurna, sehingga aku dapat membuatnya sempurna dimataMU. Seorang pria/perempuan yang membutuhkan dukunganku sebagai peneguhnya.
Seorang pria/perempuan yang membutuhkan doaku untuk kehidupannya.
Seseorang yang membutuhkan senyumanku untuk mengatasi kesedihannya. Seseorang yang membutuhkan diriku untuk membuat hidupnya menjadi sempurna.
Dan aku juga meminta : Buatlah aku menjadi seorang perempuan/pria yang dapat membuat pria/perempuan itu bangga dan bahagia. Berikan aku sebuah hati yang sungguh mencintaiMU, sehingga aku dapat mencintainya dengan cintaMU, bukan mencintainya dengan sekedar cintaku. Berikanlah RohMU yang lembut sehingga kecantikanku/ ketampananku datang dariMU bukan dari luar diriku.
Berilah aku tanganMU sehingga aku selalu mampu berdoa untuknya. Berikanlah aku mataMU sehingga aku dapat melihat banyak hal baik dalam dirinya dan bukan hal buruk saja. Berikan aku mulutMU yang penuh dengan kata-kata kebijaksanaanMU dan pemberi semangat, sehingga aku dapat mendukungnya setiap hari. Berikanlah aku bibirMU dan aku akan tersenyum padanya setiap pagi. Dan bilamana akhirnya kami akan bertemu, aku berharap kami berdua dapat mengatakaan "betapa besarnya Tuhan itu karena Engkau telah memberikan kepadaku seseorang yang dapat membuat hidupku menjadi sempurna".
Aku mengetahui bahwa Engkau menginginkan kami bertemu pada waktu yang tepat dan Engkau akan membuat segala sesuatunya indah pada waktu yang Kautentukan.
Amin

Sabtu, Juli 29, 2006

SEJARAH

Ayo dibaca dulu, dan beri masukan, kritikan, atau informasi tambahan, biar tulisan ini kita buat semakin bagus, okay :)

  • Agustus 1989: Beberapa alumni pelayanan kristen yang berasal dari Medan; Mangasi Tarigan, Dame Purba, dan Ratnawati Tarigan (alumni Pelmakris UDA) mengadakan pertemuan untuk mendukung study 1 orang hamba Tuhan yang kuliah di STII Yogyakarta sekaligus mengadakan PA dan Jam Doa. Mereka memiliki kesatuan pandang bahwa jikalau mereka tidak berkumpul untuk saling menguatkan dan mendukung satu dengan yang lainnya di dalam doa maka mereka akan sangat kesulitan untuk menghadapi tantangan dunia alumni yang sedemikian kompleks. Pada waktu itu, Perkantas dan persekutuan kampus seperti KMK dan Pelmakris baru mulai didirikan di Medan, yaitu pada tahun 1988. Semangat persekutuan yang sama masih terasa pada para alumni saat mereka tiba di Jakarta.
  • September 1989: Romulus Tambunan (mantan ketua Pelmakris UDA) dan istri ikut bergabung setelah pindah ke Jakarta. Semenjak itu, pertemuan dilakukan setiap bulan dan anggota yang ikut semakin bertambah banyak.
  • Awal 1990: Armand Barus (alumni FT USU), Jalontar Butar-butar (alumni FT USU), Saut (alumni IKIP), Martin Sinaga (alumni FE Nomensen) dan Angelina Tampubolon (alumni FED3 USU). Sekitar Oktober 1990, Almen dan Anita (alumni FISIP UDA) ikut bergabung.
  • Awal 1990 nama PAKSU disumbangkan oleh Mangapul Sagala dalam sebuah pertemuan di rumahnya di Cinere, lalu kemudian dalam sebuah retreat di Bogor.
  • Tahun 1991: Kepengurusan PAKSU terbentuk dengan ketua pertama Almen Pasaribu (Fisipol UDA).. Seterusnya, anggota PAKSU semakin bertambah dari tahun ke tahun. Kegiatan PAKSU pada saat itu adalah kebaktian bulanan, jam doa dan KTB. Kegiatan ini berlangsung selama beberapa periode pelayanan. Jam doa Pengurus yg diadakan dengan berpindah pindah tempat/rumah karena belum adanya satu tempat yg tetap yang dapat dipakai sebagai rumah Persekutuan.
  • Tahun 1991 juga: Tujuan PAKSU dibentuk, yaitu: - memelihara persekutuan para alumni dengan Tuhan, - wadah informasi khususnya bagi alumni yang baru datang ke Jakarta, - mendukung alumni yang sekolah alkitab secara finansial dan mendukung pelayanan Medan. Dan dengan Misi yaitu; - mendukung pelayanan alumni Medan, - menjadi wadah persekutuan bagi alumni Medan dan - untuk menjalankan amanat agung Tuhan Yesus.
  • Tahun 1992: Kepengurusan Periode 2 dipimpin oleh Almen Pasaribu (Fisipol UDA)
  • Tahun 1993: Kepengurusan Periode 3 dipimpin oleh Almen Pasaribu (Fisipol UDA)
  • Tahun 1994: Kepengurusan Periode 4 dipimpin oleh Almen Pasaribu (Fisipol UDA)
  • Tahun 1995: Kepengurusan Periode 5 dipimpin oleh Jordan Purba (FH-USU).. Pada tahun ini pengiriman dana untuk mendukung pelayanan Medan mulai dilaksanakan walau belum teratur.
  • Tahun 1996: Kepengurusan Periode 6 dipimpin oleh Jordan Purba (FH-USU)
  • Tahun 1997: Kepengurusan Periode 7 dipimpin oleh Tri Nilasari Sitompul (FE-UDA)
  • Tahun 1998: Kepengurusan Periode 8 dipimpin oleh Heppy Tambunan (FE-USU)
  • Tahun 1999: Kepengurusan Periode 9 dipimpin oleh Heppy Tambunan (FE-USU).. Pada tahun ini untuk pertama kali PAKSU menyewa sebuah rumah di Jalan Pramuka Jakarta Timur yang dipakai sebagai rumah persekutuan yang tetap.
  • Tahun 2000: Kepengurusan Periode 10 dipimpin oleh Manghirim Tobing (FP-USU) / Gembira Simbolon (FT-USU).. Pada tahun ini rumah persekutuan pindah ke Jl Biru Laut.
  • Tahun 2001: Kepengurusan Periode 11 dipimpin oleh Gembira Simbolon (FT-USU).. Rumah persekutuan pindah ke Jalan ……….(un-known).. Pada tahun ini visi PAKSU dirumuskan, yaitu: “Menghasilkan Alumni yang Hidup dalam Iman dan Integritas Kristen yang Tangguh”.
  • Tahun 2002: Kepengurusan Periode 12 dipimpin oleh Gembira D Simbolon (FT-USU):. Rumah persekutuan pindah ke Jalan Sutomo II No 46 Jakarta Timur. . PAKSU membuat target untuk dapat memberikan Rp 2.5 juta per bulan untuk pelayanan di Medan.
  • Tahun 2003: Kepengurusan Periode 13 dipimpin oleh Reston Sitorus (FP-USU)
  • Tahun 2004: Kepengurusan Periode 14 dipimpin oleh Reston Sitorus (FP-USU)
  • Tahun 2005: Kepengurusan Periode 15 dipimpin oleh Midian Sirait (FMIPA-USU)
  • Tahun 2006: Kepengurusan Periode 16 dipimpin oleh Midian Sirait (FMIPA-USU)

Selasa, Juni 13, 2006

Breaking The Da Vinci Code

So the divine Jesus and infallible Word emerged out of a fourth-century power-play? Get real.By Collin Hansen posted 11/07/2003
Perhaps you've heard of Dan Brown's The Da Vinci Code. This fictional thriller has captured the coveted number one sales ranking at Amazon.com, camped out for 32 weeks on the New York Times Best-Seller List, and inspired a one-hour ABC News special. Along the way, it has sparked debates about the legitimacy of Western and Christian history.
While the ABC News feature focused on Brown's fascination with an alleged marriage between Jesus and Mary Magdalene, The Da Vinci Code contains many more (equally dubious) claims about Christianity's historic origins and theological development. The central claim Brown's novel makes about Christianity is that "almost everything our fathers taught us about Christ is false." Why? Because of a single meeting of bishops in 325, at the city of Nicea in modern-day Turkey. There, argues Brown, church leaders who wanted to consolidate their power base (he calls this, anachronistically, "the Vatican" or "the Roman Catholic church") created a divine Christ and an infallible Scripture—both of them novelties that had never before existed among Christians.
Watershed at Nicea
Brown is right about one thing (and not much more). In the course of Christian history, few events loom larger than the Council of Nicea in 325. When the newly converted Roman Emperor Constantine called bishops from around the world to present-day Turkey, the church had reached a theological crossroads.
Led by an Alexandrian theologian named Arius, one school of thought argued that Jesus had undoubtedly been a remarkable leader, but he was not God in flesh. Arius proved an expert logician and master of extracting biblical proof texts that seemingly illustrated differences between Jesus and God, such as John 14:28: "the Father is greater than I." In essence, Arius argued that Jesus of Nazareth could not possibly share God the Father's unique divinity.
In The Da Vinci Code, Brown apparently adopts Arius as his representative for all pre-Nicene Christianity. Referring to the Council of Nicea, Brown claims that "until that moment in history, Jesus was viewed by His followers as a mortal prophet … a great and powerful man, but a man nonetheless."
In reality, early Christians overwhelmingly worshipped Jesus Christ as their risen Savior and Lord. Before the church adopted comprehensive doctrinal creeds, early Christian leaders developed a set of instructional summaries of belief, termed the "Rule" or "Canon" of Faith, which affirmed this truth. To take one example, the canon of prominent second-century bishop Irenaeus took its cue from 1 Corinthians 8:6: "Yet for us there is but one God, the Father, from whom all things came and for whom we live; and there is but one Lord, Jesus Christ."
The term used here—Lord, Kyrios—deserves a bit more attention. Kyrios was used by the Greeks to denote divinity (though sometimes also, it is true, as a simple honorific). In the Greek translation of the Old Testament (the Septuagint, pre-dating Christ), this term became the preferred substitution for "Jahweh," the holy name of God. The Romans also used it to denote the divinity of their emperor, and the first-century Jewish writer Josephus tells us that the Jews refused to use it of the emperor for precisely this reason: only God himself was kyrios.
The Christians took over this usage of kyrios and applied it to Jesus, from the earliest days of the church. They did so not only in Scripture itself (which Brown argues was doctored after Nicea), but in the earliest extra-canonical Christian book, the Didache, which scholars agree was written no later than the late 100s. In this book, the earliest Aramaic-speaking Christians refer to Jesus as Lord.
In addition, pre-Nicene Christians acknowledged Jesus's divinity by petitioning God the Father in Christ's name. Church leaders, including Justin Martyr, a second-century luminary and the first great church apologist, baptized in the name of the triune God—Father, Son, and Holy Spirit—thereby acknowledging the equality of the one Lord's three distinct persons.
The Council of Nicea did not entirely end the controversy over Arius's teachings, nor did the gathering impose a foreign doctrine of Christ's divinity on the church. The participating bishops merely affirmed the historic and standard Christian beliefs, erecting a united front against future efforts to dilute Christ's gift of salvation.
"Fax from Heaven"?
With the Bible playing a central role in Christianity, the question of Scripture's historic validity bears tremendous implications. Brown claims that Constantine commissioned and bankrolled a staff to manipulate existing texts and thereby divinize the human Christ.
Yet for a number of reasons, Brown's speculations fall flat. Brown correctly points out that "the Bible did not arrive by fax from heaven." Indeed, the Bible's composition and consolidation may appear a bit too human for the comfort of some Christians. But Brown overlooks the fact that the human process of canonization had progressed for centuries before Nicea, resulting in a nearly complete canon of Scripture before Nicea or even Constantine's legalization of Christianity in 313.
Ironically, the process of collecting and consolidating Scripture was launched when a rival sect produced its own quasi-biblical canon. Around 140 a Gnostic leader named Marcion began spreading a theory that the New and Old Testaments didn't share the same God. Marcion argued that the Old Testament's God represented law and wrath while the New Testament's God, represented by Christ, exemplified love. As a result Marcion rejected the Old Testament and the most overtly Jewish New Testament writings, including Matthew, Mark, Acts, and Hebrews. He manipulated other books to downplay their Jewish tendencies. Though in 144 the church in Rome declared his views heretical, Marcion's teaching sparked a new cult. Challenged by Marcion's threat, church leaders began to consider earnestly their own views on a definitive list of Scriptural books including both the Old and New Testaments.
Another rival theology nudged the church toward consolidating the New Testament. During the mid- to late-second century, a man from Asia Minor named Montanus boasted of receiving a revelation from God about an impending apocalypse. The four Gospels and Paul's epistles achieved wide circulation and largely unquestioned authority within the early church but hadn't yet been collected in a single authoritative book. Montanus saw in this fact an opportunity to spread his message, by claiming authoritative status for his new revelation. Church leaders met the challenge around 190 and circulated a definitive list of apostolic writings that is today called the Muratorian Canon, after its modern discoverer. The Muratorian Canon bears striking resemblance to today's New Testament but includes two books, Revelation of Peter and Wisdom of Solomon, which were later excluded from the canon.
By the time of Nicea, church leaders debated the legitimacy of only a few books that we accept today, chief among them Hebrews and Revelation, because their authorship remained in doubt. In fact, authorship was the most important consideration for those who worked to solidify the canon. Early church leaders considered letters and eyewitness accounts authoritative and binding only if they were written by an apostle or close disciple of an apostle. This way they could be assured of the documents' reliability. As pastors and preachers, they also observed which books did in fact build up the church—a good sign, they felt, that such books were inspired Scripture. The results speak for themselves: the books of today's Bible have allowed Christianity to spread, flourish, and endure worldwide.
Though unoriginal in its allegations, The Da Vinci Code proves that some misguided theories never entirely fade away. They just reappear periodically in a different disguise. Brown's claims resemble those of Arius and his numerous heirs throughout history, who have contradicted the united testimony of the apostles and the early church they built. Those witnesses have always attested that Jesus Christ was and remains God himself. It didn't take an ancient council to make this true. And the pseudohistorical claims of a modern novel can't make it false. Source : Christianity Today
GLOSSARY affirm (vt). menegaskan, mengiakan, memperkokoh, mensahkan allegation (n). pernyataan tanpa bukti, dugaan apocalypse (n). wahyu, penyingkapan bankroll (n). uang yang tersedia pada seseorang chief (n). kepala, ketua, (adj). utama coveted (vt). iri hati, mendambakan creed (n). pernyataan kepercayaan/keyakinan, syahadat, iman cult (n). cara memuja dilute (vt) mencairkan, menipiskan disguise (n). penyamaran, samaran divine (adj). bersifat ketuhanan, hebat, (vt) meramalkan divinity (n) dewa, Tuhan, keTuhanan, kedewaan doctrine (n) doktrin, ajaran dubious (adj). yang meragukan, ragu-ragu exemplify (vt). memberikan contoh, menunjukkan heirs (n) ahli waris heretical (adj). yang berhubungan dengan bidah impending (adj). yang akan datang, yang mendatang infallible (adj). sempurna, mutlak legitimacy (n) kekuasaan, legitimasi loom (n) perkakas tenun, (vi) nampak, terbayang luminary (n) orang termahsyur, seorang bintang mortal (n) mahluk hidup, (adj) yang mematikan, besar sekali nudge (n) sentuhan, dorongan, (vt) menyentuh, menyinggung overtly (adj) jelas, terang, lahir prominent (adj) terkemuka, menyolok, menonjol pseudo- (n) palsu, lancung, gadungan thriller (n) sesuatu yang menggetarkan hati wrath (n) kegusaran, kemarahan, kemurkaan

Minggu, Mei 14, 2006

Artikel Romo J. Drost, SJ

[artikel ini diperoleh dari simposium Pendidikan "Menggagas Wacana Pendidikan Dasar Indonesia", di Aula R.S. Borromeus Bandung, tanggal 26 Mei 2001] *****SEKOLAH DASAR***** Kalau kita ingin membicarakan sekolah dasar atau lebih tepat anak yang bersekolah di sekolah dasar, perlu membahas peran orangtua lebih dahulu. Karena merekalah yang menyekolahkan anak mereka di sekolah dasar. Pendidik utama ialah orangtua. Mereka mendidik anak muda lewat proses yang dinamakan pendidikan. Semua pendidikan adalah proses informal, tidak ada pendidikan formal. Anak itu adalah manusia yang masih amat muda, yang harus dibentuk menjadi manusia dewasa. Anak itu, bukan anak lain. Dan anak itu nanti akan disekolahkan oleh orangtua. Jadi yang amat mendasar ialah bahwa orangtua harus menerima anak itu. Kenyataannya, banyak orangtua tidak menerima anak mereka. Menerima itu bukan sembarang penerimaan. Anak harus diterima seperti anak itu, apa adanya. Entah pandai, entah biasa, entah lemah kemapuan intelektualnya. Masalah sekarang ialah bahwa banyak orantua tidak menerima keadaan nyata anak mereka. Banyak orantua menuntut bahwa di taman kanak-kanak harus diajarkan berhitung dan membaca. Di sekolah dasar harus diajarkan bahasa Inggris. Orangtua memaksa anak sekolah dasar mengikuti bimbingan belajar, mencarikan mereka guru les privat. Ini semua supaya anak menjadi juara yang dapat dibanggakan oleh orangtua terhadap masyarakat. Namun sebenarnya anaknya dirusak, karena anak dipaksa hidup pada tingkat intelektual yang terlalu tinggi. Anak dijadikan rekaan (bukan rekayasa) orangtua. Kemudian kalau anak tidak belajar, yang sebetulnya tidak dapat belajar karena tuntutan terlalu berat, ia dituduh malas belajar. Orang itu marah karena anak tidak memenuhi ambisi dan gengsi orangtua. Dan yang lebih menyedihkan, bahkan mengerikan, adalah bahwa ada kepala sekolah dan guru yang melayani tuntutan orangtua dan ikut menindas anak. Emosi dan intelegensi akan hancur. Dan anak itu menjadi anak pasif, rewel dan nakal. Bagaimana sebuah sekolah dasar dapat mendidik dan mengajar anak semacam itu? Bukan padatnya kurikulum SD, tetapi tuntutan orangtualah yang menimbulkan kesulitan-kesulitan. Sebetulnya kurikulum sekolah dasar di mana-mana di dunia sama, dan sama sekali tidak terlalu padat. Ini semua diperlukan agar lulusan sekolah dasar dapat mengikuti pelajaran di SLTP. Yang membebani anak-anak SD adalah yang disebut muatan lokal, dan lebih-lebih penyalahgunaan muatan lokal. Muatan lokal bukan keterampilan dan bukan kerajinan tangan. Muatan lokal adalah bahan pengajaran yang diperlukan hingga para pelajar merasa kerasan di sekolah dan tidak dicabut dari lingkungan hidup sehari-hari. PP No. 28 mengatakan, "Satuan pendidikan dasar dapat menambah mata ajaran sesuai dengan keadaan lingkungan dan ciri khas satuan pendidikan yang bersangkutan dengan tidak mengurangi kurikulum yang berlaku secara nasional dan menyimpang dari tujuan pendidikan nasional." Untuk SD pada dasarnya tidak ada kesulitan. Misalnya: bahasa daerah, kesenian daerah dan komputer (khusus kelas ke-4, 5, dan ke-6) Bahasa Inggris bukan mata ajaran muatan lokal. (Lokal mana?) Ini muatan asing. Saya ambil contoh Netherland. Untuk orang Belanda amat penting menguasai beberapa bahasa asing karena bahasa Belanda jarang dipakai di dunia internasional. Namun, di sana tidak ada pengajaran bahasa asing di SD. Hanya di SLTP dan SMU (jadi enam tahun seluruhnya). Akan tetapi, lulusan sekolah menengah di negara itu sudah mengerti bahasa Inggris, bahasa Jerman, dan bahasa Perancis. Hasil ini dicapai karena lulusan SD menguasai Belanda. Mustahil bahasa asing kalau belum menguasai bahasanya sendiri. Dan unsur ini merupakan masalah pokok di Indonesia. Tidak hanya anak SD, lulusan perguruan tinggi pun belum menguasai bahasa Indonesia sebagai bahasa budaya. Apalagi anak SD, di rumah memakai bahasa daerah, di lingkungan bahasa daerah lain dan di sekolah bahasa Indonesia. Semua itu-itu saja. Sekarang dipaksa belajar bahasa Inggris. Inilah beban yang diletakkan di atas punggung anak kita. Karena gengsi orangtua dan usaha kepala sekolah supaya anak berada tidak keluar negeri untuk mencari sekolah dengan bahasa Inggris. Sekarang beberapa keberatan saya terhadap muatan lokal sungguh-sungguh. Untuk SD di seluruh dunia jumlah pelajaran tidak boleh lebih dari 35 jam seminggu. Di Indonesia kelas III: 38 jam, Kelas IV: 40 jam, kelas V dan VI: 42 jam seminggu. Ditambah 42 kali pekerjaan rumah. Ini sungguh-sungguh tidak dapat dipertanggungjawabkan. Jadi, dilihat dari segi ini semua muatan lokal harus dihapuskan agar para anak SD dapat belajar dengan tenang. Paling-paling setiap kelas dua jam seminggu untuk bahasa daerah. Bahasa Inggris dan komputer yang menjadi alat komersialisasi pengajaran harus dihapus. yang sebetulnya salah orangtua, akan tetapi sekolah mau mendukung kesalahan itu demi penghasilan. Sekarang disoroti cara atau metoda pengajaran. Pengalaman saya dan nalar sejati juga mengatakan bahwa metoda 'talk' dan 'chalk' ialah: mengajar, berbicara dan hafal masih paling baik. Misalnya diskusi. Diskusi sebetulnya hanya mungkin pada stratum 2 atau 3 di Univeristas Program Magister dan Doctor. Yang berdiskusi harus semua orang yang menguasai bahan diskusi. Setiap memberikan pandangan ilmiah tentang bahan itu dan dengan demikian memperkaya anggota-anggota diskusi lain. Yang lain di SD, SLTP, dan SMU disebut diskusi tak lain tak bukan obrolan ala arisan. Karena tidak ada satu yang menguasai bahan yang didiskusikan. Baru didengar atau dibaca. Bagaimana mempunyai pendapat yang memperkaya yang lain. Dialog sebetulnya antara dua orang yang setingkat pendidikannya. Antara guru dan murid mustahil. Tambah lagi 1 guru banyak murid. Jadi multilog. Tetapi yang dituntut dari seorang pengajar ialah komunikasi hidup. Lewat cerita, contoh, gambar di papan tulis, mengajukan pertanyaan, menimbulkan pertanyaan dari pelajar. Sangat aktif dan bergairah. Namun ini semua tidak mungkin karena gejala lain. Anak-anak Indonesia dididik di keluarga hingga tidak menerima bahwa ada teman sekolah yang berprestasi, yang menonjol. Anak yang nilainya tinggi langsung dicap sombong, angkuh, egoistis, cari muka guru. Belum lagi antara nilai kakak dan adik jauh berbeda. Si adik nilai delapan, dan kakaknya nilai lima. Orangtua menghendaki supaya tidak ada kesenjangan dan kecemburuan. Orangtua mengatakan kepada si kakak, "Kau bodoh, apa saja kerjamu. Jangan main lagi!" Lalu mengatakan kepada si adik, "usahakan supaya jangan sampai banyak nilai sembilan, kasihan kakakmu. Cukuplah dapat nilai 6 atau tujuh."Dan sikap anak-anak itu sering didukung oleh guru. Akibatnya timbul sikap dari anak pandai: "Untuk apa mencapai hasil belajar delapan kalau enam cukup. Kalau nilai delapan pasti dibenci oleh teman. Untuk apa belajar? Untuk apa bertanya? Tanggung, akan diteriaki anak-anak lain di kelas. Bahkan saya alami sikap itu pada mahasiswa". Jadi tidak diterima bahwa ada pelajar yang menonjol. Yang kurang pandai ini sama dengan yang pandai. Sikap ini, hasil dari pendidikan di rumah dan suasana sekolah ini mematikan usaha berprestasi dari yang pandai dan suasana kelas menjadi mati. Guru omong, pelajar diam. Akhirnya, memakai OHP dan terawangan dapat membantu guru. Namun semua alat media elektronis bisa merugikan pelajar. Kalau yang diproyeksikan tidak ada dalam bahan pegangan anak, apa gunanya. Kalau yang diterawangkan tidak ada dalam buku pelajaran, percuma. Boleh dipertanyakan apakah anak-anak semuda itu mau mendengarkan apa yang disampaikan memakai alat elektronis. Apakah ini bukan kesempatan main-main karena perhatian guru tidak ditujukan kepada mereka. Maka alat macam itu dapat mengganggu proses pengajaran maupun pendidikan. Unsur kontak informal, dasar seitap pendidikan, tidak ada lagi. Pengajar bukan guru lagi, melainkan teknikus yang menghidupkan alat-alat. Hubungan pribadi sama pribadi di suasana kelas sekolah menjadi tempat pelatihan tidak lagi tempat pendidikan lewat pengajaran. Pengajar mendidik lewat mengajar dan pelajar dididik lewat belajar, itulah sekolah. Masih perlu menyinggung masalah pengajar bidang studi di SD. Oleh karena di SD proses pendidikan masih amat penting karena proses pengajaran baru dimulai dengan anak memulai belajar menulis, membaca, menghitung, amat pentinglah suasana pendidikan. Suasana pendidikan menuntut kontak informal antara anak dan pendidik. Paling ideal di keluarga tempat ada dua pendidik dan sejumlah kecil yang dididik. Orangtua dan anak-anak. Situasi ini tidak mungkin di sekolah. Paling mungkin seorang pendidik (guru kelas) yang kenal baik semua anak. Karena seorang pengajar bidang studi mengajar banyak sekali anak, bisa sampai ratusan di SD besar, maka para pengajar bidang studi tidak kenal satu anak sebagai anak dengan wataknya sendiri, kemampuan belajarnya sendiri, emosionalitasnya sendiri. Maka seorang pengajar bidang studi tidak lagi mendidik. Itulah sebabnya Depdikbud melarang guru-guru SD menjadi pengajar bidang studi, kecuali untuk agama, musik, dan olah raga.*** *****MUATAN LOKAL***** Seperti istilah "pendidikan dasar" adalah istilah rancu, demikian juga istilah "muatan lokal." Pendidikan dasar mencakup sekolah dasar dan sekolah menengah (SLTP) karena SLTP merupakan bagian bawah dari pengajaran menengah enam tahun, seperti di mana-mana di dunia. Jadi, nama yang tepat adalah "pengajaran wajib sembilan tahun" yang berlangsung di SD dan SLTP. Demikian pula muatan lokal, karena biasanya tidak ada yang lokal lagi. Kita lihat terlebih dahulu muatan lokal itu, bukan "apa." Muatan lokal bukan keterampilan dan bukan kerajinan tangan. Muatan lokal adalah bahan pengajaran yang diperlukan agar para pelajar merasa kerasan di sekolah dan tidak dicabut dari lingkungan hidup sehari-hari. PP No.28 berbunyi: "Satuan pendidikan dasar dapat menambah mata ajaran sesuai dengan keadaan lingkungan dan ciri khas satuan pendidikan yang bersangkutan dengan tindak mengurangi kurikulum yang berlaku secara nasional dan tidak menyimpang dari tujuan pendidikan nasional." Untuk SD kiranya tidak ada kesukaran. Misalnya: bahasa daerah, kesenian daerah, dan komputer. Bukan bahasa Inggris. Di Netherland, misalnya, tidak ada bahasa Inggris di SD. Namun lulusan sekolah menengah di negara itu mengerti bahasa Inggris, bahasa Jerman, dan bahasa Perancis. Pengajaran bahasa asing (di Indonesia hanya bahasa Inggris) akan berhasil, kalau diajarkan empat atau lima jam seminggu selama enam tahun (SLTP plus SMU). Bukan kepramukaan juga. Kepramukaan merupakan unsur pendidikan informal yang hanya bisa diadakan di luar sekolah, karena sekolah merupakan pengajaran formal. Di SLTP, ada bahaya diselundupkannya keterampilan bagi pelajar yang tidak akan melanjutkan ke SMU atau SMK. Kurikulum SLTP sebenarnya adalah bahan pengajaran kelas 1, 2, dan 3 dari sekolah menengah enam tahun. SLTP bukan pengajaran terminal. SLTP dapat berfungsi dan berguna, kalau dilanjutkan ke SMU atau SMK. Terus terang, kurikulum SLTP 1994 tak lain tak bukan adalah kurikulum untuk pelajar yang pandai. Jadi, yang wajar diterima di SLTP hanyalah lebih kurang 40% dari lulusan SD. Akan tetapi di Indonesia, 100 persen dari lulusan SD diharuskan mengikuti kurikulum yang tidak mempersiapkan mereka bekerja sesudah lulus SLTP. Lulusan SLTP yang tidak melanjutkan akan menganggur, karena tidak mempunyai keterampilan apa pun. Untuk mengatasi kesukaran ini, muatan lokal harus dijadikan pengajaran keterampilan. Namun enam jam seminggu selama tiga tahun sama sekali tidak cukup menjadikan orang terampil. Untuk itu diperlukan lebih kurang 20 jam seminggu selama tiga tahun. SLTP keterampilan (terlampir). Kendati kurikulum SD baik, ada kelemahan yang besar, yaitu jumlah jam pelajaran yang tidak boleh lebih dari 35 jam seminggu. Kurikulum itu terlalu berat, masih ditambah 42 kali pekerjaan rumah. Dilihat dari segi ini, semua muatan lokal harus dihapuskan agar para anak SD dapat belajar dengan tenang. Paling-paling setiap kelas ditambah dua jam untuk bahasa daerah. Keberatan lain ialah bahwa muatan lokal diberikan dengan alasan untuk meningkatkan gengsi sekolah, agar orangtua yang ber-ada ingin memasukkan anak mereka di sekolah itu. Ekonomi, bukan pendidikan lagi yang terutama. Bahasa Inggris dan komputer menjadi alat komersialisasi pengajaran. Yang salah sebetulnya adalah orangtua. Dan sekolah pun mendukungnya. Bahasa daerah hanya dapat menjadi muatan lokal, kalau 75 persen lebih dari para pelajar sebahasa daerah. Kalau 'heterogen', harus ada pilihan lain atau pembebasan. Alasannya: bahasa yang pertama-tama yang harus dikuasi lulusan SD ialah bahasa Indonesia. Kalau pelajar sudah mengerti bahasa daerah yang diajarkan, tidak ada masalah. Namun, kalau anak SD di rumah memakai bukan bahasa daerah yang diajarkan di sekolah, ini masalah. Pelajar yang masih anak dibebani tiga bahasa: bahasa Indonesia, bahasa daerah muataan lokal, dan bahasa daerah rumah. Siapa yang tidak heran bahwa anak itu mengatakan kepada ibunya, "Mama, tidak dong!" Dan kita berkeluh kesah bahasa kaum muda kita jelek. Maklum, bukan? Di Jerman, kurikulum yang sama diselesaikan selama 32 jam pelajaran seminggu. Di negeri Belanda, selama 35 jam seminggu seperti di Australia. Sebab apa anak kita yang sama bodohnya dan sama pintarnya membutuhkan 42 jam seminggu?(untuk SLTP) Lebih baik dan lebih masuk akal kalau muatan lokal selama enam jam dihapus. Yang perlu dimasukkan dua jam komputer. Kurikulum menjadi 38 jam seminggu. Menurut saya, itu pun masih terlalu banyak. Oleh karena SLTP merupakan tahun-tahun pertama dari pengajaran menengah, maka kurikulum harus kurikulum nasional, sama untuk seluruh Indonesia. Di luar negeri, yang masuk SLTP umum yang berlaku nasional dan mempersiapkan pengajaran untuk melanjutkan ke universitas, dan hanya lebih kurang 30% dari lulusan SD. Yang amat penting dan amat mendesak adalah membuka macam-macam SLTP non-umum. Keterampilan menuntut muatan lokal karena harus memperhatikan kebutuhan lokal. *** *****SLTP KETERAMPILAN***** Uraian ini didasarkan pada prinsip bahwa semua undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan lain harus demi manusia, demi masyarakat. Jadi, kalau ada kekurangan yang merugikan manusia, kekurangan itu harus dihilangkan (lihat kasus UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan). Diputuskan bahwa mulai 1994 wajib belajar harus berlangsung selama sembilan tahun. Untuk memungkinkan itu, ditentukan dalam PP No. 28 bahwa wajib belajar itu dilaksanakan di SD selama enam tahun dan SMP yang diberi nama SLTP selama tiga tahun. Kurikulum SD maupun kurikulum SLTP tidak diubah, tetapi dikoreksi. SD bukan masalah. Masalahnya ada pada SLTP. Kurikulum SLTP benar-benar SLTP program umum, artinya bahwa SLTP mempersiapkan semua pelajar untuk melanjutkan ke sekolah menengah umum (SMU) atau sekolah menengah kejuruan (SMK). Kurikulum SLTP baik, asal tidak ditempeli macam-macam keterampilan. Di mana-mana di dunia, usaha makan dari dua piring gagal. Yang berhasil hanya yang memilih atau jalur akademik atau jalur vokasional. Semua sekolah komprehensif, sekolah pembangunan, sekolah IKIP, SMA-plus ternyata tidak mungkin. Jadi, SLTP sebagai persiapan untuk melanjutkan ke SMU atau SMK harus memilih jalur akademik. Yang disebut muatan lokal adalah bahasa daerah, kebudayaan daerah, bahasa Inggris, komputer, bukan keterampilan. Dengan demikian, SLTP merupakan sekolah yang tepat bagi lulusan SD yang tidak melanjutkan ke SMP. Sebab apa mereka tidak melanjutkan? Biasanya dikatakan karena alasan ekonomis. Ini ternyata tidak seluruhnya benar. Pertama, ada cukup banyak anak yang dengan susah payah menyelesaikan SD dan tidak mempunyai kemampuan intelektual untuk mengikuti pelajaran di SLTP. Kedua, ada yang tidak berminat. Ketiga, banyak orang tua menyatakan, apa gunanya masuk SLTP karena SLTP bagi mereka yang tidak melanjutkan ke SMU atau SMK sama sekali tidak berguna karena tidak mempersiapkan para pelajar untuk bekerja, hanya untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. SMU atau SMK. Sekarang, mereka itu harus masuk SLTP. Kalau masuk SLTP program umum bersama dengan anak yang bermaksud melanjutkan, mereka akan menderita dan akan gugur karena tidak mampu. Dan, dalam satu kelas ada pelajar yang mampu dan yang tidak mampu, maka mutu perlajaran SLTP pun akan merosot. Akibatnya yang pandai pun tidak akan diterima di SMU atau SMK, karena hasil SLTP amat kurang. Maka, baik untuk membantu mereka yang tidak mampu maupun demi mutu SLTP program umum, harus ada SLTP terminal khusus bagi mereka yang setelah sembilan tahun (SD dan SLTP) pendidikan akan bekerja. Ketika Fuad Hasan menjadi menteri, sudah dipertimbangkan beberapa jalan keluar. Akan tetapi, penyelesaian yang dikemukakan oleh Mendikbud Wardiman Djojonegoro merupakan penyelesaian yang paling tepat, yaitu adanya SLTP keterampilan. Hanya, saya berharap agar ditentukan bahwa SLTP Keterampilan itu benar-benar pengajaran terminal. SLTP Keterampilan bukan SLTP program umum yang ditempeli keterampilan. Lulusan SLTP Keterampilan tidak dapat melanjutkan ke SMK karena SMK membutuhkan SLTP program umum sebagai persiapan, bukan SLTP Keterampilan. Sistem Jerman cukup baik: tiga hari masuk sekolah, tiga hari magang. Namun karena sistem ini belum mungkin dipakai, maka dipakai 21 jam pengajaran umum dan 21 jam keterampilan. Ada kekurangan lain yang juga menimbulkan masalah. Dari ratusan ribu lulusan SMU yang menempuh ujian masuk ke perguruan tinggi negeri maupun swasta, yang betul-betul lulus hanya lebih kurang 10 persen. Memang, yang diterima jauh lebih banyak karena mereka diluluskan untuk mengisi tempat yang tersedia. Akibatnya, mereka yang sebetulnya tidak lulus, setelah mencapai gelar sarjana, sukar mendapat pekerjaan karena tidak bermutu. Dan yang 'drop-out' di perguruan tinggi lebih kurang 80 persen. Tinjauan kepentingan ekonomi. Keadaan itu mau diperbaiki secara mendasar dengan membuka sekolah menengah umum (SMU) yang mengutamakan persiapan masuk perguruan tinggi (baca: universitas dan intitut). Untuk mencapai tujuan itu disusunlah kurikulum yang baik, tetapi lebih berat daripada kurikulum A1 atau IPA-SMU sekarang. Kurikulum ini berlaku untuk Kelas I dan II. Baru setelah kelas II ada pemilihan program. Oleh karena hanya pelajar yang pandai yang akan dapat menempuh studi di SMU, maka disusun syarat masuk dengan seleksi ketat. Akibatnya hanya lebih kurang 30 persen dari lulusan SLTP dapat diterima di SMU. Lalu sekian banyak lulusan yang tidak diterima di SMU akan dikemanakan? Sekolah menengah kejuruan (SMK) tidak sanggup menampung jumlah pelajar sebesar itu. Tambah lagi, banyak siswa tidak mampu atau tidak berminat masuk SMK. Sepertinya halnya penyelesaian yang baik bagi lulusan SD yang tidak bisa melanjutkan ke SLTP program umum dengan pembentukan SLTP Keterampilan, diharapkan bahwa Depdikbud dapat juga memecahkan masalah lulusan SLTP program umum yang tidak bisa diterima di SMU. Jadi, sebuah variasi dari program SMU bagi mereka yang tidak mampu belajar di SMU. Kalau ada yang mengatakan bahwa menurut PP 29 hanya ada satu SMU, mereka perlu mengetahui bahwa memang tidak ada dua SMU, melainkan satu SMU pada kampus yang satu, dengan satu kepala sekolah dan staf guru yang sama. Hanya, ada dua variasi program studi. Sebagai penutup, saya ulangi lagi bahwa semua UU, PP, dan peraturanlan adalah demi anak didik kita. Jadi, kalau ada kekurangan, jangan anak dijadikan korban kekurangan tersebut, tetapi kekurangan itu diperbaiki.***